Ajaran Hindu Tentang Ketuhanan
Ajaran Hindu Dharma tentang Ketuhanan
Dosen Pengampu :
Siti Nadroh, MA
Kelompok 2
Nurotun Aeni
M. Furqon
Shakeel A
A. Ajaran Hindu Dharma tentang Ketuhanan
a.
Konsep Tuhan/Dewa
Untuk pertama kali difinisi tentang Tuhan dijumpai dalam kitab Brahma Artinya
:(Brahman adalah yang maha tahu dan penyebab yang mahakuasa) dari mana munculnya asal mula dan lain-lain,
(yaitu pemeliharaan dan peleburan) dari (dunia ini).
Kitab
suci memberi batasan lain tentang
Brahman, yang menggambarkan sifat-Nya yang sejati : “Kebenaran, Pengetahuan, Yang Tak Terbatas adalah Brahman”.
Ajaran Ketuhanan (theology) dalam
agama Hindu disebut Brahma Widyā.
Dalam Brahma Widyā dibahas tentang
Tuhan Yang Maha Esa, ciptaanNya, termasuk manusia dan alam semesta. Sumber
ajaran Brahma Widyā ini adalah kitab
suci Veda.
Di
Dalam Veda, istilah Tuhan Yang maha
Esa disebut Deva, disamping itu disebut “Tat” (Itu) atau “Sat” (kebenaran mutlak).
Kata Deva mengandung dua pengertian; yaitu Deva sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan
deva sebagai mahluk tertinggi ciptaan-Nya (Rgveda X.129.6) dengan berbagai
tingkatannya. Veda mewakili
berbagai-bagai fase perkembangan pemikiran keagamaan. Padanya terdapat
perwujudan tanda-tanda Polytheisme yang diorganisir, Henotheisme, Monotheisme
dan Monisme.
Dewa Dalam Agama Hindu dipercaya terdapat 33
Dewa, hal tersebut dijelaskan dalam Reg. Weda. Yang mana ketiga puluh tiga
Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya ke 33 dewa tersebut dibedakan menurut tempat dan tugasnya
masing-masing seperti tertuang dalam Rg. Weda.I. 139.11 yang berbunyi:
Wahai para
dewa (33 dewa): 11 di sorga, 11 di bumi, 11 berada di langit, semoga engkau
bersuka cita dengan persembahan suci ini.
monotheisme transendent dan immanent
Para dewa itu dipandang sebagai penjelmaan
dari Brahman. Hal ini terungkap dalam
kitab Taittiriya Upanisad yang
menyatakan bahwa dewa Mitra, Varuna,
Aryaman, Indra, Brihaspati, Wisnu, adalah Brahman yang kelihatan. Jadi sebenarnya hanya satu dewa, yaitu Brahman, sedangkan yang lain-lainnya
adalah penjelmaan dewa yang satu itu pula.
Dalam
kitab Katha Upanisad Brahman bukan
dipandang sebagai tokoh dewa, melainkan sebagai asas pertama, sebagai asal
segala sesuatu yang meliputi segalanya.[1]
Sesungguhnya
Brahman itu tidak dapat dikatakan
bagaimana. Dalam Brhad-aranyaka Upanisad
III.8.8-9, tentang jawaban
Yājňavalkya atas pertanyaan Gārgī dinyatakan bahwa :
“Yang
mengerti Brahman menyebutnya yang Kekal. Dia tidaklah kasar, bukan pula halus,
tidak pendek tidak pula panjang, tidak bersinar merah (seperti api) tidak pula
menempel (seperti air). Dia bukanlah bayangan ataupun kegelapan,bukan pula
udara atau angkasa, yanpa ikatan, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa mata , tanpa
telinga, tanpa suara, tanpa pikiran, tanpagemerlapan, tanpa nafas,tanpa mulut,
tanpa ukuran, tiada apapun di dalam dan di luar-Nya. Dia tidak memakan apapun
dan tiada apapun bisa memakan-Nya. Sesungguhnya atas perintah yang kekal itu,
matahari dan bulan berada pada kedudukannya masing-masing,…”.
Maksud
uraian di atas tidak lain menyatakan bahwa Brahman
bukan substansi dan tidak memiliki sifat-sifat. Walaupun demikian, secara
positif Brahman dapat dinyatakan dengan
ungkapan sat-cit ananda. Kata sat berarti ada atau keberadaan. Jika Brahman disebut sat berarti bahwa hanya Brahman-lah
yang memiliki keberadaan, Ia-lah satu-satunya yang ada, yang harus dibedakan
dengan segala yang lain dari pada-Nya, yang tidak memiliki ada atau keberadaan.
Kata cit berarti kesadaran yang menunjuk
kepada sifat Brahman yang rohani. Brahman yang satu-satunya memiliki ada
itu adalah Brahman yang sadar, bukan
yang mati, yang bersifat rohani bukan bendani. Ananda artinya bahagia, yang menunjuk kepada sifat Brahman yang meliputi segala sesuatu dan
mempersatukan segalanya yang hanya terdiri dari kebahagiaan saja. Ungkapan sat-cit-ananda menunjukkan bahwa
Brahmanlah satu-satunya realitas rohani yang bersifat mutlak, tetapi juga
meliputi segala sesuatu yang ada, yang sadar atau yang bersifat rohani,
sehingga segala sesuatu yang memiliki kedua sifat itu harus dialirkan ke luar
dari pada-Nya.
Dalam
Taittiriya Upanisad II.1.1. dinyatakan yang muncul pertama
dari Brahman (Atman) adalah angkasa,
dari angkasa udara, dari udara api, dari api air, dari air tanah, dari tanah
pohon obat-obatan, dari pohon obat-obatan makanan, dari makanan oknum.
Demikianlah segala sesuatu muncul dari pada Brahman
. Oleh karena itu segala sesuatu datang dari Brahman, maka segala sesuatu pada hakekatnya adalah Brahman.
Sweta
Swatara Upanisad mempertegas tentang kedudukan Tuhan sebagai berikut “ya eko jālavān īśata īśanībhih sarvān lokān
īśata īśanībhih, ya evaika udbhave ca, ya etad vidur amrtās te bhavanti”.[2]
Artinya
:
“Dia
Diri Yang Maha Agung, yang di alam semesta ini menjadi satu-satunya Penguasa
Alam Semesta, yang memiliki kemampuan mencipta, yang menguasai Alam Semesta
dengan kekuasaan-Nya yang amat besar, dengan kemampuan Maya-Nya itu telah
mencipta dan mengatur muncul dan lenyapnya segala sesuatu di Alam Semesta ini.
Siapa yang telah dapat menyadari dan menghayati Kasunyataan ini, Dia menjadi
bersifat abadi”
Upanisad
menyatakan bahwa Tuhan pada hakekatnya Esa, sumber segala sesuatu yang ada di
Alam Semesta dan menjadi tempat kembalinya segala sesuatu. Beliau Pencipta,
Pengatur sekaligus sebagai Pemralina segala sesuatu yang ada di Alam Semesta
ini. Dalam pernyataan tersebut terdapat konsep Ketuhanan yang bersifat monotheisme transendent dan immanent. Dan sebuah kalimat dalam Brhadāranyaka Upanisad menyatakan : “Sarwam Khalvidam Brahman” ‘Segalanya adalah Tuhan Yang maha Esa’. Konsep
ini mengandung paham Monisme. Keyakinan terhadap adanya Keesaan Tuhan yang
merupakan hakekat alam semesta. Esa dalam segala. Segalanya berada di dalam
yang Esa.
Mahānirwāna Tantra adalah Tantra Shastra
yang merupakan bentuk Shastra Hindu yang masih kurang dikenal, karena
ajaran-ajarannya memang sulit, dan diperlukan tingkat evolusi berpikir untuk bisa menyerap dan memahaminya. Selain
itu juga karena arti terhadap beberapa istilah serta metode yang dilaksanakan
terus dijaga kerahasiannya oleh para penganutnya. Tantra Shastra dikatakan
sebagian ilmu pengetahuan spiritual untuk periode Kaliyuga sekarang (Avalon’s,
1997 : v), disebutkan sebagai berikut :
Siwa telah bersabda: “untuk
menyempurnakan manusia di zaman Kaliyuga, pada ketika manusia menjadi sangat
lemah dan hidupnya hanya tergantung kepada makanan-makanan saja, maka O Dewi
dirumuskanlah ajaran-ajaran daripada kaula” (Bab IX, bait 12 Mhn. T.).
Mahānirwāna Tantra menguraikan mengenai Siwa dan sakti demikian : “Eksistensi kekal, yang tidak bisa dipecah belah
itu, yang kesadaran-Nya melampaui batas tūriya dan mengatasi semua keadaan yang
lain, itulah absolute yang tak berciri, Brahman
yang Agung atau Parabrahman. Dia terbebas (nishkala) dari pengaruh Prakriti atau
terbebas dari ciri-ciri Prakriti (nirguna),
Dia-lah Pribadi di dalam, subjek dari yang mengetahui, karena itu, tidak pernah
Dia itu menjadi objek pengetahuan.Dia itu tanpa nama, maka Brahman itu disebut Tat (Itu), dan kemudian Tat Sat (Itu Yang Ada). Matahari, bulan,
bintang-bintang, dan semua yang kelihatan itu, apakah semuanya selain sekedar
sekilas cahaya yang tertangkap dari Tat itu?
Brahman meliputi keduanya niskala dan sakala (Avalon’s, 1997 : 3).
Menurut
Mahānirwāna Tantra, pada mula-mulanya adalah satu yaitu Nishkala Brahman saja
yang ada. Yang satu itu berkehendak, dan menjadi banyak. Aham bahu syam “Menjadilah
Aku ini banyak”. Dia mewujudkan diri dalam bentuk para dewa dan dewi, dan juga
berada di dalam pemuja sendiri. Perwujudannya itu ialah perwujudan alam semesta
raya, termasuk segalanya yang berada di dalamnya. Di sini Tuhan Yang Maha Esa
digambarkan dengan perwujudan immanent
dan transcendent.
Untuk memahami lebih jauh tentang simbol-simbol dalam agama Hindu, terlebih
dahulu diuraikan tentang hakekat ketuhanan dalam agama Hindu. Maka yang menjadi sumber adalah kitab
suci Veda, yang merupakan himpunan firman Tuhan Yang Maha Esa atau wahyu-Nya yang
diterima oleh para maha rsi dimasa silam.
Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India
dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama. Berbagai
wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu. Walaupun Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud
dalam pengertian materi maupun dalam jangkauan pikiran manusia, dan didalam bahasa
Sanskerta disebut Acinty arupayan gartinya:
tidak berwujud dalam alam pikiran manusia.
Bila Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, muncul pertanyaan mengapa dalam sistem pemujaan umat Hindu membuat bangunan suci, arca, pratima, pralinga, mempersembahkan busana, sesajen dan lain-lain. Bukankah semua wujud itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud dalam pikiran manusia?
Sebelum itu mari kita bahas definisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan oleh Maha rsi Vyasa
yang dikenal juga sebagai Badarayana dalam karyanya :Brahmasutra, Vedanta sastra
yang didalamnya menyebutkan dalam terjemahan sebagai berikut: Brahman adalah asal muasal dari alam semesta
dan segala isinya. Jadi menurut Brahmasutra bahwa Tuhan Yang Maha Esa disebut
Brahman, hal ini juga sesuai dalam bunyi mantram pada Purusa Sukta Rgveda yang berbunyi
(dalamterjemahan) :[3]
“Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang
akan ada. Dia adalah Raja dialam yang abadi dan juga bumi ini yang hidup dan berkembang.”
Uraian diatas adalah salah satu dari banyaknya bunyi-bunyian mantram
tentang Tuhan yang menegaskan bahwa kitab suci Veda dan termasuk kitab-kitab Vedanta(Upanisad)
adalah sumber yang paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman(TuhanYangMahaEsa).
b. Hyang Widhi, Biarkan
Yang Berwujud dan Yang Tidak Berwujud
Bila kita mengaji tentang Biarka (Tuhan
Yang Maha Esa) didalam kitab suci dan kitab-kitabVedanta, maka kita menentukan
2 pandangan yang berbeda tentang Bagian,
yakni sebagai yang berwujud,
seperti wujud para dewa didalam Veda dan Tuhan yang tak berwujud,
seperti di jelaskan dalam kitab-kitab Veda nya (Upanisad). Berdasarkan
penjelasan dalam kitab Bahwa Sutra diatas, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah
yang menjadikan alamsemesta dan segala yang terdapat didalam ya. Kini timbul pertanyaan apakah Sang Hyang Widhi sama
dengan Brahman atau Brahma?
Berdasarkan
tinjauan etimologis maupun leksika. Kata Widhi beras dari urat kata di (Vi +
dha) yang artinya, sebuah aturan, peraturan atau kekuasaan, rumus, perintah,
keputusan, orientasi (peraturan setempat), undang-undang, ajaran, hukum,
petunjuk. Didalam Maha Barat dan kita-kitab Karya lainnya Vidhi disebut sebagai
sang pencipta (creator), juga pacarnya. Vidhi adalah salah satu nama dari Bahwa
sebagai pencipta atau penguasa hukum. Vidhi juga berarti hukum atau pengendali dan lain-lain. Didalam kitab-kitab
Purna, Vidhi adalah nama lain dari Brahma seperti disebutkan diatas. Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan sebagai
Pencipta alam semesta.[4]
Sedangkan kata Brahman yang berarti yang tumbuh, berkembang, berevolusi,
yang bertambah besar, yang meluap dari dari-Nya, dan sejenisnya. Ciptaa-Nya
muncul dari dari-Nya, seperti halnya
Veda yang muncul dari nafas-Nya. Kemahakuasaan Hyang Brahman sebagai pencipta
jagat raya didukung oleh sakti-Nya yang disebut Sarasvati, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang
memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai Brahma,
maka Ia adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan
demikian Brahma saat ini adalah Tuhan Yang Berperilaku (Personal God. Dengan
demikian Hyang Widhi adalah Brahman Tuhan yang tidak berwujud dalam alam
pikiran manusia (impersonal God). Sedang disebut Brahma, ketika Ia telah
mengambil wujud (Personal God) dalam
menciptakan alam semesta beserta segala isinya.
Pada
orang-orang Hindu bilanganTuhan-Tuhan amatlah besar. Bagi mereka tiap-tiap
kekuatan mutlak, masing-masing dapat memberi faedah atau membahayakan, seperti
api, air, sungai-sungai dan gunung-gunung. Dialah Tuhan yang diharapkan
pertolongannya pada masa kesulitan.
Benar bahwa
Hindnisme tidak bergantung hanya pada sebuah kitab suci tunggal seperti yang
dilakukan agama besar didunia ini.
Namun, keseluruhan tubuh dari
kerusakan filosofis menerima kita-kitab Upanisad dan Bhagavad dengannya. Oleh karena itu, setiap konsep tentang Tuhan yang didasarkan
pada kitab-kitab ini disebut baik hampir semua sektor Hindunisme.
Sementara
mengambil konsep tentang Tuhan, kiranya wajar bagi manusia untuk mengawali ya
dari dunia tempat ia tinggal dan bergerak.
Karena itu, jika dipandang dari sudut pandang ini, Tuhan dalam
Hindunisme adalah sang pencipta. Namun,
Dia menciptakan segenap alam semesta dan dunia ini bukan dari ketiadaan yang
tak logis, tetapi berasal dari Diri-Nya
sendiri. Setelah menciptakan, Dia memelihara ya dengan kekuasaan-Nya, mengatur seluruhnya bagaikan seorang kaisar
maha-kuasa, membagi keadilan sebagai
ganjaran dan hukuman, sesuai dengan perbuatan masing-masing individu dan
makhluk-makhluk yang ada. Pada akhir
dari satu siklus penciptaan Hindunisme mendukung teori siklus penciptaan-Dia
menyerap segenap tatanan dunia kedalaman Diri-Nya.[5]
Kitab suci
Hindu demikian lancar dalam melukiskan sifat-sifat Tuhan.Dia Adalah
Maha-mengetahui dan Maha-kuasa. Dia merupakan perwujudan keadilan, kasih sayang dan keindahan.
Dalamkenyataannya, Dia merupakan
perwujudan dari semalam kualitas terdekat yang senantiasa dapat dipahami
manusia. Dia senantiasa siap mencurahkan
anugerah, kasih dan berkah-Nya pada
ciptaan-Nya. Dengan kata lain, tujuan utama penciptaan dunia semesta ini adalah
untuk mencurahkan berkah-Nya pada makhluk-makhluk, membimbing ya secara
bertahap dari keadaan yang kurang sempurna menuju keadaan yang lebih
sempurna.Dengan mudah Dia dimenangkan dengan doa dan permohonan dari para
pemuja-Nya. Namun, tanggapan-Nya pada doa ini dituntut oleh prinsip yang
hendaknya tidak bertentangan dengan hukum komisi yang berkenaan dengan kesejahteraan umum dunia dan hukum karma yang
berkaitan dengan kesejahteraan pribadi-pribadi khususnya.
Konsep Tuhan Hindu memiliki dua gambaran khas. Tergantung pada kebutuhan
dan selera dari para pemuja-Nya, Dia
dapat terlihat dalam suatu wujud yang mereka sukai untukpemujaan dan menanggapinya melalui wujud tersebut. Dia juga dapat menjelaskan Diri-Nya diantara
makhluk manusia untuk membimbing ya menuju kerajaan Tuha-Nya. Dan penjelasan ini merupakan suatu proses
berlanjut yang mengambil tempat dimanapun dan kapanpun yang dianggap-Nya perlu.
Kemudian, ada aspek Tuhan lainnya sebagai Yang Mutlak, yang biasanya
disebut sebagai 'Brahman' yang berarti besar tak terbatas.Dia adalah Keterbatasan
itu sendiri.Namun, Dia juga bersifat immanen pada segala yang tercipta.Dengan
demikian tidak seperti segala yang kita kenal bahwa Dia menentang segala uraian
Tentang-nya.
B. Trimurti
Pada abad kira-kira abad ke-9 SM, pemikiran agama
Hindu sampai pada tingkat menjelmakan hasil yang hampir-hampir kepada pengesaan
atau hasil yang menunjukan sampainya mereka ke tingkat pengesaan. Mereka
mengumpulkan Tuhan-Tuhan dalam satu Tuhan saja dan memutuskan bahwa dia itulah
yang mengeluarkan alam dari zatnya sendiri, dan dialah yang memeliharanya
hingga dibinasakan dan dikembalikannya semua kepadanya. Mereka menamakannya
dengan tiga nama atau disebut Trimurti.[6]
Konsep Trimurti ini baru muncul setelah umat Hindu
memiliki perkembangan pemikiran yang disebutkan oleh sejarawan pada zaman
Brahmana, Trimurti adalah tiga kekuatan Brahman yang terdiri dari :
1. Brahman,
adalah Tuhan yang berfungsi sebagai pencipta alam, yang disebut dalam Bahasa
sansekerta “Utpatti”
2. Wisnu, adalah Tuhan yang berfungsi sebagai
pemelihara, yang disebut dalam Bahasa sansekerta “Sthiti”
3. Siwa,
adalahTuhan yang berfungsisebagaipelebur/penghancur.
Gambar 1.1
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/10/dewa-tertinggi-agama-hindu-trimurti.html
Secara luas, Hindu
dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu : 1.kelompok Siva atau mereka yang memuja Dewa Siwa,
2.kelompok Brahma atau mereka yang
memuja Dewa Brahma dan 3.kelompok Vaisnava
atau mereka yang memuja Dewa Visnu. Hal ini didasari pada kitab weda kuno.
Ketiganya ini Brahma, Visnu, dan Siva bersama-sama membentuk Tri Murti
Hindu.[7]
Brahma menciptakan
dunia, Visnu memeliharanya dan Siva memusnahkannya. Proses penciptaan
(srsti), pemeliharaan (sthiti) dan pemusnahan (pralaya) selamanya berlanjut
dalam aturan siklus. Bila dunia merupakan suatu mitos seperti pertanyaan dari
beberapa bentuk ekstrim dari filsafat Advaita
Vedanta, maka tak akan ada teologi sehingga permasalahan teologis juga tak
akan ada. Tetapi, dunia ini menjadi suatu kenyataan pengalaman sehari-hari
kita, yang tak dapat dijelaskan ataupun diabaikan begitu
saja. Sekali kita menerimanya sebagai nyata – betapa pun derajat realitas yang
kita nyatakan tentangnya, pertanyaan teologis tentang penciptaan dan sang
penciptanya akan senantiasa harus dihadapi dan dijawab dengan jujur. Inilah
yang telah diusahakan oleh berbagai kitab suci Hindu selam ini.
Tiga Devata Tri Murti berhubungan dengan tiga guna dalam pengaruh kosmis
penciptaan, pemeliharaan dan pemusnahan. Visnu
melambangkan sattvaguna, sebagai
daya keberadaan dan pemeliharaan. Siva
melambangkan sifat tamas, sebagai
daya penyerapan. Brahma berdiri
diantara keduanya ini dan melambangkan sifat rajas. Ia melambangkan kemampuan keberadaan yang
berasal dari pertemuan yang saling berlawanan.[8]
a. Brahma
Gambar 2.1(www.quora.com)
Dengan demikian Brahma merupakan sumber,
benih dari semua yang ada. Seperti yang dinyatakan oleh namanya, Dia merupakan ketakterhinggan
yang tak terbatas, sebagai sumber dari ruang, waktu dan penyebab, yang
memunculkan nama dan wujud. Secara filosofis, Dia merupakan tahap pertama dan
maifestasi tentang pertanyaan keberadaan individual (ahankara). Secara teologis, Dia adalah pencipta yang tak
terciptakan (svayambhu) pribadi awal
yang ada dengan sendirinya.
Dia memiliki banyak julukan yang merupakan
petunjuk akan keberadaannya yang menarik, dari titik pandang kosmologi, Dia
adalah Janin Keemasan, bola api, sebagai sumber asal mulanya alam semesta raya
ini. Karena segala mahluk yang tercipta ini adalah keturunannya, maka Dia
disebut Prajapati, penguasa anak keturunan atau juga disebut Pitamaha sang kakek moyang. Dia juga
disebut Vidhi sang pengatur, sebagai Lokesa sang penguasa dunia,
demikian juga Dhatr sang pemelihara.
Dia juga disebut Vismakarma, arsitek
alam semesta.
Brahma sang
pencipta dan Sarasvati, sebagai
pendampingnya yang merupakan pokok dari beberapa cerita dalam literatur
mitologi Hindu ; yangb secra singkat dapat diringkas sebagi berikut :
1.
Brahma lahir dari telur keemasan yang berasal dari
air penyebab tak terbatas. Pendampingnya, yaitu Srasvati diwiujudkan
daripadanya. Dari penytauannya lahirlah segenap mahluk-mahluk di dunia ini.
2.
Brahma menyatakan dalam kitab kitab weda dan
sarasvati sebagai roh dan artinya. Oleh karena itu seluruh ilmu pengetahuan
baik yang sakral maupun yang profane bersal daripadanya .
3.
Dahulu Brahma menjadi seekor babi hutan jantan dan
mengangkat bumi dari bawah air dan menciptakan dunia ini
4.
Wujud kura-kura dan Ikan juga ditelah dikenakan
terhadap Brahma
5.
Dia merupakan penemu seni panggung dan musik
6.
Dia merupakan Pendeta utama yang melaksanakan
upacara pernikahan Siwa dan Parwati.
Walaupun dalam kenyataannya Brahma merupakln
Tuhan tertinggi dalam aspek kreatif dan merupakan anggota yang sama pentingnya
dalam Tri Murti. Anehnya tak ada kuil yang khusus untuk baginya kecuali satu di
Pushkar,India.[9]
Di kuil yang khusus dipersembahkan kepada Brahma aspek nya sebagai Vishakarma (arsitek alam semesta) yang
dipergunakan. Dalam wujud ini Dia tampak memiliki empat kepala, empat lengan
yang memegang tasbih,buku,rumput kusa,dan kendi serta mengendarai angsanya.
Setiap kuil apakh itu kuil Siwa
atau Wisnu pasti memiliki suatu ceruk pada dnding bagian utara yang
diperuntukkan bagi Brahmadan gambarannya harus mendapat pemuajaan setiap hari
karena Dia merupakan Parivara devata.
b. Visnu
Visnu
yang juga dikenal sebagai MahaVisnu merupakan devata kedua dari Tri Murti Hindu yang menyatakan Sattvaguna dan merupakan kekuatan
sentripetal yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan alam semesta.
Pengertian
etimologis, kata Visnu berarti yang
meliputi atau yang menyusupi segalanya. Oleh karena itu Dia merupakan realitas
alam semesta, yang melampaui dan juga immanen. Dia merupakam penyebab dan
kekuatan batin yang menimbulkan keberadaan ini nama lain Visnu yang sangat umu dan terkenal adalah Narayana yang berarti :
a. Air sebagai tempat tinggalnya
b. Merupakan tempat kediaman seluruh
mahluk manusia
c. Yang membuat hati manusia sebagai
tempat kedudukannya
Setelah Peleburan alam semesta
dari siklus sebelumnya dan sebelum penciptaan berikutnya, Narayana Tuhan
tertinggi jatuh tertidur pada alas tidur Ular Sesa (Anantha) yang mengapung
pada lautan (shrasamudra) atau lautan susu, salah satu kakinya berada
dipangkuan Devi Laksmi, pendampingnya yang dengan lembut memijatinya. Ketika
dia bermimpi akan penciptaan berikutnya sekuntum kembang Padma muncul dari
pusarnya bersama dengan Deva Brahma yang duduk disana. Setelah bangun Dia
menyuruh Brahma dengan memulai kegiatan Penciptaan.
Visnu senantiasa dilukiskan
sebagai Nilamegasyama, warna biru gelap bagaikan awan yanag mengandung air
hujan, karena ruang kosong tak terbatas itu tampak sebagai berwarna biru gelap,
maka wajarlah apabila Visnu sebagai kekuatan kosmis yang meliputi segalanya
dilukiskan berwarna biru.
Visnu yang tugasnya dalah
memelihara dunia ini, sering menjelmakan dirinya kedunia ini walaupun
penjelmaan itu secara popular dianggap berjumlah sepuluh, sebenarnya berjumlah
tak terbatas. Demikian juga sata penampakannya tak dpat dipandang hanya pada
tempat tertentu saja. Manakala darma merosot dan adarma merajalela Dia
menjelmakan diinya sendiri guna memu;lihkan keseimbangan di dunia ini.
Berikut beberapa Penjelmaan dalam
wujud manusia
1. Parasurama
2. Sri RamaBalarama
3. Sri Krishna
4. Kalki
C. Siva/Siwa
Gambar 3.1 (padmayowana.blogspot.co.id)
Siwa
adalah salah satu dari tiga dewa utama Tri Murti dalam agama Hindu. Kedua Dewa
lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran Hindu, Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur
segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi
sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Siwa dalam mitologi Hindu dikenal sebagai dewa tertinggi dan banyak
pemujanya. Mitos Siwa dapat dijumpai dalam beberapa kitab suci agama Hindu,
yakni kitab-kitab Brāhmana, Mahābhārata, Purāna, dan Āgama.Dalam
kitab Hindu tertua, Weda Samhita, walaupun nama Siwa sendiri tidak pernah
dicantumkan, tetapi sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siwa itu sendiri
telah ada, yaitu Rudra.[11]
Umat Hindu, khususnya umat Hindu di India, meyakini bahwa Dewa Siwa memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan
karakternya, yakni:
·
Bertangan empat, masing-masing membawa:
tri wahyudi, cemara, tasbih/genitri, kendi
tri wahyudi, cemara, tasbih/genitri, kendi
·
Bermata tiga (tri netra)
·
Pada hiasan kepalanya terdapat ardha chandra
(bulan sabit)
·
Ikat pinggang dari kulit harimau
Oleh umat HinduBali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem,
sebagai dewa yang mengembalikan manusia dan makhluk hidup lainnya ke unsurnya,
menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengiderDewata Nawa Sanga (Nawa Dewata), Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna.Ia
bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Ia dipuja di Pura Besakih.
Dalam tradisi Indonesia lainnya, kadangkala Dewa Siwa disebut dengan namaBatara Guru. Adya / Siwa / Pusat / Segala Warna (Cahaya) = peleburan kemanunggalan
adapun keturunan yang merupakan dewa juga, menurut cerita-cerita keagamaan yang
terdapat dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Dewa Siwa memiliki putra-putra
yang lahir dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Beberapa putra Dewa Siwa
tersebut yakni:
C.
Sembahyang
Kata “sembahyang” berasal
dri bahasa Jawa Kuno. Sembah di sini berarti menyayangi, menghormati, memohon,
menyerahkan diri dan menyatukan diri. Sedangkan kata Hyang artinya “suci”. Jadi
kata seembahyang berarti menyembah yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang
hakekatnya lebih tinggi yaitu Tuhan.
Sembahyang disini memiliki pengertian yang cukup luas
melakukan pemujaan serta penghormatan kepada dewa atau Tuhan Yang Mahaesa atau
kepada sesuatu yang suci.[13]
Dalam sembahyang dikandung pula suatu pengertian
menyerahkan diri atau menaklukan diri serta menghamba kepada yang disembah. Didalam agama Hindu pun sembahyang itu
merupakan wujud nyata kegiatan beragama dengan tujuan untuk menghormati,
memohon, menyerahkan diri, menyatukan diri serta menghamba kepada Tuhan yang
Maha suci, Maha suci disini, misalnya, kepada leluhur yang telah suci, atau
yang sudah mencapai status Dewa Pitara atau Siddha Dewata dan kepada para Maha
Rsi yang telah memiliki kesucian itu sendiri.
Gambar 4.1 (agama--hindu.blogspot.co.id)
Dalam melalukan sembahyang ini umat hindu menggunakan media berupa benda seperti sesajen,ucapan-ucapan suci,
sikap diri dan sikap batin. Pada
kenyataanya semua agama mengajarkan umatnya memuja Tuhan secara individual dan
dengan cara bersama-sama. Demikain juga Agama Hindu mengenal juga sembahyang sendiri
dan sembahyang secara bersama-sama dalam kelompok. Sembayang juga disebut Ekanta
dan sembahyang dengan cara bersama-sama atau kelompok disebut Samkirtanam.
Sembahyang sendiri bertujuan untuk melatih diri agar struktur alam pikiran
menjadi kuat, agar kesadaran budi menjadi kuat menguasai kadar kecerdasan
pikiran dan pikiran menguasai Ego maka Tri Guna haruslah diolah dengan baik.
Mantram-mantram yang diucapakan saat sembahyang pagi
itu bertujuan untuk mendekatkan pengaruh Guna Sattwam pada budi dan pikiran.
Sedangkan Sembahyang sore saat Sandhya Dina, Sembahyang ditunjukan untuk
mengendalikan Guna Thamas agar jangan mempengaruhi Guna Sattwam dan Rajah.[14]
Cara pelaksanaan
nitya karma
Nitya Karma atau nitya adalah yajña yang dilaksanakan
setiap hari, seperti Tri Sandya dan yajña Sesa. Yajña sesa dilaksanakan setalah
kita selesai memasak nasi dan sebelum makan. Yajña sesa diaturkan kepada
Bhatara-Bhatari di pemerajan Hyang Wisnu di Sumur (tempat penyimpanan air)
Hyang Raditya di atap rumah, Hyang pertiwi dan Bhuta-bhuta di halaman rumah,
penunggu karang di tugu, dan tempat- tempat lainnya yang dianggap suci.
Sedangkan Naimitika Karma adalah pelaksanaan yajña
yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, misalnya berdasarkan sasih maupun
pawukon (Adiputra, 2003). Naimitika Karma yang lain berdasarkan adanya
peristiwa yang dianggap perlu untuk di adakan pelaksanaan yajña, seperti puja
wali, selesai pembangunan Candi, galungan, Kuningan, Saraswati, Nyepi,
Siwaratri.[15]
Gambar 4.2 (Foto Southeastasiagirl)
JENIS-JENIS NITYA YAJÑA
Pelaksanaan yajña yang dilakukan setiap hari meliputi
banyak hal seperti :
1. Surya
sewana (pemujaan setiap hari kepada Dewa Surya), pemujaan ini dilakukan oleh
seorang sulinggih untuk mendapatkan kerahayuan alam semesta.
2. Ngejot
(upacara saiban, biasanya setelah memasak hidangan).
Yajña sesa yang dipersembahkan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, setelah memasak atau sebelum menikmati
makanan. Tujuannya adalah menyampaikan rasa syukur dan trimakasih kepada-Nya.
Adapun tempat –tempat melaksanakan persembahyangan yajña sesa adalah sebagai
berikut:
- Di atas atap rumah, diatas
tempat tidur (pelangkiran), persembahan ini ditujukan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa beliau sebagai ether.
- Di tungku atau kompor, dipersembahkan
kehadapan dewa Brahma
- Di tempat air dipersembahkan
kehadapan Dewa Wisnu.
- Di halaman rumah,
dipersembahkan kepada Dewi Pertiwi
Disamping tempat tempat tersebut ada juga yang
menyebutkan mebanten saiban dilakukan di tempat tempat seperti berikut:
- Di tempat beras
- Di tempat sombah
- Di tempat menumbuk beras
- Di tungku dapur
- Di pintu keluar pekarangan
(lebuh)
3.
Melaksanakan Puja Tri Sandya (tiga kali sehari), yaitu tiga kali menghubungkan
diri (sembahyang) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Puja Tri Sandya
merupakan bentuk yajña yang dilaksanakan setiap hari, dengan kurun waktu pagi
hari, tengah hari, dan pada waktu senja hari untuk memohon anugrah-Nya.
4. Jnana
yajña, persembahan ini dalam bentuk pengetahuan. Jñana yajña merupakan bagian
dari panca maha yajña. Persembahan ini ditujukan kehadapan para maha rsi yang
menerima wahyu Veda dari Tuhan dan beliau yang menyebarkan ajaran-ajaran-Nya
kepada umat manusia.[16]
JENIS-JENIS NAIMITIKA YAJÑA
Adalah persembahan atau yajña yang dilakukan pada waktu-waktu
tertentu berdasarkan tempat, waktu, dan keadaan ”desa, kala dan patra“.
Naimitika yajña merupakan yajña yang dipersembahkan atau yang dilakukan oleh
umat hindu, hanya pada hari atau waktu-waktu tertentu saja. Adapun jenisnya
antara lain:
1. Berdasarkan
perhitungan sasih atau bulan
Yajña yang
dilaksanakan atau dipersembahkan berdasarkan perhitungan sasih atau bulan
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya antara lain : purnama
tilem, siwaratri, nyepi atau tahun baru saka, hari raya Kasodho bagi umat Hindu
yag ada di lereng gunung Bromo.
2.
Berdasarkan adanya peristiwa atau kejadian yang dipandang perlu untuk
melaksanakan yajña.
Peristiwa
atau kejadian dalam hal ini adalah suatu kejadian yang terjadi dengan
keanehan-keanehan tertentu, sangat tidak diharapkan, lalu semua itu terjadi.
Dalam bentuk dan kehidupan ini banyak peristiwa-peristiwa penting yang sulit
diharapkan bisa terjadi. Adapun bentuk-bentuk pelaksanaan yajña yan
dipersembahkan antara lain : upacara ngulapin untuk orang jatuh, yajña rsi
gana, yadnya sudi-wadani dan yang lainnya. Untuk upacara Hindu Kaharingan di
Kalimantan Tengah ada ritual penting yang disebut dengan upacara Tiwah yaitu
ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah bertujuan untuk menghantarkan
arwah ke surga.
3.
Berdasarkan perhitungan wara
Perpaduan
antara tri wara dengan panca wara, seperti hari kajeng kliwon. Kemudian
perpaduan antara sapta wara dengan panca wara, seperti buda wage, buda kliwon,
dan anggara kasih. Kliwon datang 5 hari sekali ketika beryoganya Sang
Hyang Siwa Kajeng Kliwon dilaksanakan 15 hari sekali dengan memuja Hyang Siwa,
segehan dihanturkan kepada hyang Durgha Dewi. Di bawah pada sang Hyang Buchari,
Sang Kala Buchari dan Sang Durgha Bucar.[17]
4.
Berdasarkan atas perhitungan wuku
Pelaksanaan
hari raya, seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi. Selain
hal tersebut perlu juga diketahui bahwa pada prinsipnya yajña harus dilandasi
oleh Sraddhā, ketulusan, kesucian, dan pelaksanaannya sesuai sastra agama serta
dilaksanakannya sesuai dengan desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan
keadaan). Dilihat dari kuantitasnya maka yajña dibedakan menjadi berikut:
a. Nista,
artinya yajña tingkatan kecil. Tingkatan nista ini dibagi menjadi 3, yaitu :
- Nistaning nista adalah terkecil
di antarayang kecil
- Madyaning nista adalah sedang
di antara yang kecil
- Utamaning nista adalah terbesar
diantara yang kecil
b. Madya,
artinya sedang, yang terdiri dari 3 tingkatan :
- Nistaning madya adalah terkecil
di antarayang sedang
- Madyaning madya adalah sedang
di antara yang sedang
- Utamaning madya adalah terbesar
diantara yang sedang
c. Utama,
artinya besar, yang terdiri dari 3 tingkatan :
- Nistaning utama adalah terkecil
di antara yang besar
- Madyaning utama adalah sedang
di antara yang besar
- Utamaning utama adalah yang
paling besar
Keberhasilan sebuah yajña bukan dari besar kecilnya
materi yang dipersembahkan, namun sangat ditentukan oleh kesucian dan ketulusan
hati. Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dari yadnya itu sendiri. Dalam
Kitab Bhagavadgītā, XVII. 11, 12, 13 disebutkan ada tiga pembagian yajña yang
dilihat dari kualitasnya, yaitu:
1. Tamasika
yajña adalah yadnya yang dilaksanakan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk
sastra, mantra, kidung suci, daksina dan sradha.
2. Rajasika
yajña adalah yadnya yang dilaksanakan dengan penuh harapan akan hasilnya dan
bersifat pamer serta kemewahan.
3. Satwika
yajña adalah yadnya yang dilaksanakan beradasarkan sraddhā, lascarya, sastra
agama, daksina, mantra, gina annasewa, dan nasmita.
Pelaksanaan yajña di atas merupakan tingkatan korban
suci yang dalam hal ini tergantung dari orang yang melakukan korban suci
tersebut. Pada materi ini kita telah memahami dari macam yajña tersebut, untuk
itulah kita akan bahas sloka yang mendukungnya.[18]
i.
Cara sembahyang
Pelaksanaan sembahyang dapat dibagi atas dua bagian
yaitu:
Sembahyang yang
dilakukan sehari-hari dan sembahyang yang dilakukan sewaktu-waktu dalam
hubungannya dengan upacara tertentu. Sembahyang
sehari-hari yang dilakukan agama Hindu disebut Trisandhya, dilakukan tiga kali
sehari, yaitu diwaktu pagi, siang dan
malam hari, Tri artinya tiga dan Sandhya artinya sembahyang.
Sedangkan sembahyang yang
dilakukan sewaktu-waktu berkaitan dengan upacara tertentu. Misalnya, pada saat hari raya
Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi dan lain-lainnya bagi masyarakat Hindu
di Bali.Pada umat Hindu di Tengger, Jawa Timur, misalnya upacara Kesodo.[19]
Tata cara
pelaksanaan persembayangan memiliki tatanan yang baku, karena berhubungan
dengan sikap dan etika yang luhur dan mengandung nilai religious yang tinggi. Sikap
sembahyang haruslah benar dalam arti tidak boleh asal sikap.Tatacara sembahyang umat Hindu sebagai
berikut :
1. Melaksanakan
Suci Laksana, artinya badan maupun diri orang hendaknya bersih
2. Sikap
badan yang disebut asana, boleh
memakai padmasana (duduk bersila), bajrasana (duduk bersimbuh) sesuai dengan
tempat sembahyang itu sendiri.
3. Pranayama, yaitu mengatur jalannya nafas. Menarik
(puraka), menahan (kumbaka)dan mengeluarkan nafas(recaka) secara perlahan-lahan.
Pada saat melakukan puraka dan kumbaka disertai
ucapan dalam hati ‘ang’, dan pada saat recaka disertai ucapan ‘ah’ dalam hati.
4. Kara sodana, menyucikan tangan, karena tangan akan
dipakai untuk menyembah. Mantra yang dipakai ialah “Om sudhamam Swaha (tangan
kanan) dan Om hati sudhamam Swaha (tangan kiri)
5. Puspa sodana, artinya penyucian bunga dengan puja
mantra.
6. Menyembah dengan mencakupkan kedua tangan, angakat
keatas sampai ujung jari lewat ubur-ubar.
ii.
Memahami Arti dan
fungsi sarana persembahyangan
Melakukan persembahyangan umumnya umat Hindu
menggunakan berbagai sarana untuk memantapkan hatinya dalam melakukan
persembahyangan.
a.
Arti dan fungsi bunga
Arti bunga dalam lontar yajna Prakerti disebut
sebagai berikut : Sekare pinaka katulusan pikayunane suci. Artinya :Bunga itu
sebagai lambang ketulusikhlasan
pikiran yang suci.Bung sebagai salah satu unsure sarana persembahyangan yang
digunakan oleh umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kitab suci. Dalam
Bhaagawadgita bab IX sloka 26, disebutkan unsure-unsur pokok persembahan yang
ditunjukan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah bunga disamping daun,
buah-buahan, dan air.[20]
Dari bunga, buah dan daun ini dibuatlah suatu
bentuk sarana persembahyangan seperti canang, kewangen, bhasma dan bija.
a.
Canang
Gambar 5.1 (blog.kura2guide.com)
Canang merupakan sarana yang penting dalam setiap persembahyangan. Karena
ini merupakan sarana upakara yang akan dipakai untuk persembahyangan kepada
Tuhan. Kata canang berasal dari Bahassa jawa kuno yang padda mulanya berarti
sirih untuk disuguhkan kepada tamu yang amat dihormati.Pada zaman dahulu
tradisi makan sirih adalah tradisi yang dihormati. Jadi memang sirih pada zaman
dahulu bernilai tinggi. Sekarang pun dibeberapa daerah termasuk pula di Bali,
sirih merupak daun yang digemari oleh masyarakat terutama orang tua. Sirih
sebagai lambang penghormatan.
Adapun kelengkapan canang yaitu. Antara lain, alasnya berturut-turut
disusun daun pisang yang berbentuk segi empat, dan diatasnya disusun
perlengkapan lain seperti pelawa (daun-daunan). Porosan yang terdiri dari satu
atau dua potang sirih didalamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan
sepotong janur, diatasnya diisi dengan tangkih/kojong dari janur yang bentuknya
bundar yang diseebut urrassari, dapat pula ditambahkan dengan pandan arum yang
diisi dengan wangi-wangian.
Canang mengandung arti dan makna
perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon bantuan dan perlindungan Tuhan
Yang Maha Esa, untuk dapat menciptakan,
memelihara dan meniadakan yang patut diciptakan, dipelihara,
dan ditiadakan. Semuanya demi suksesnya cita-cita hidup manusia yakni
kebahagiaan. Perjuangan hidup itu harus melalui usaha untuk menumbuhkan pikiran
yang jernih dan suci didasarkan pada ketulusikhlasan, berbakti, dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
kepada sesama manusia dan kepada lingkungan. Inilah sumber kehidupan yang
bahagia. Demikian tingginya filsafat hidup yang di simbol kan oleh cabang. Jadi
canang adalah visualisasi dari pada ajaran Hindu dalam bentuk Banten yang
indah. Atau kata lain, canang itu adalah bahasa Agama Hindu dalam bentuk simbol
yang dapat memberikan berbagai keterangan tentang arti dan makna hidup ini.[21]
3. Kwangen
Kwangen berasal dari
bahasa Jawa Kuno dari kata wangi artinya harum. Kata wangi mendapat amalan
"ka" dan akhiran "an" sehingga menjadi 'kewangian'lalu
disaksikan menjadi 'kewangean' yang artinya keharuman. Dari arti
kata kwangen ini sudah ada
gambaran bagi kita tentang fungsi kenangan untuk mengharumkan nama Tuhan.
Gambar 6.1(www.picture21o.com)
Simbol Kwangen yatitu sebagai berikut:
1. daun Pisang berbentuk kerucut
2. Uang Kepeng bolong
3. Potongan Kojong berbentuk melengkung
4. Sampyan kwangen.[22]
Pada upacara persembahyangan,
kewangendipakai untuk memuji Ida Sang H yang Wingi sebagai anugerah
dalam wujud Padang Purusha.[23]
Kembali kepada unsur-unsurnya yang membentuk kewangen, maka dapat kita
ambil arti dan makna simbolis ya sebagai sarana persembahyangan untuk
menghubungkan diri kita dengan Tuhan Yang Maha Esa dan dewa-dewa.
Kewangen di samping sebagai sarana pokok dalam persembahyangan, juga
dipergunakan dalam berbagai upacara panca yajnayang seperti pendirian tempat
permukaan.
5. Api dan fungsinya
Dalam persembahyangan apa itu diwujudkan dengan Dhupa dan dipa. Dupa
adalah sejenis ramuan yang dibakar sehingga berbau wangi. Dupa dengan nyala
apinya lambang dewa Agni yang berfungsi
sebagai pendeta pimpinan upacara, sebagai perantara yang menghubungkan
antara pemuja dengan dipuja, sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh
jahat, dan sebagai saksi upacara.
6. Tirta/air dan fungsinya
Arti dan makna tirta ditinjau dari segi penggunaanya dapat dibedakan
dalam beberapa jenis, yaitu, tirta yang berfungsi sebagai lambang penyucian
(pembersih), tirta yang berfungsi sebagai pengurip (penciptaan), dan tirta yang
berfungsi sebagai pemelihara.[24]
7. Bija dan Bhasma
Bija adalah lambang bibit kesucian yang harus ditanam dalam lubuk hati
sanubari. Bija artinya biji. Phalawija artinya buah yang berbiji. Namun dalam
hal upacara keagamaan ini bija adalah sarana upakara dalam pemujaan yang dibuat
dari biji beras yang utuh tidak boleh memakai beras yang patah direndam didalam
air. Sedangkankan kata Bhasma bukanlah berasal dari kata “baas” dalam bahasa
Bali yang artinya. Bhasma berasal dari bahasa sansekreta yang artinya abu suci.
Bhasma di pakai untuk menghadirkan kesucian Dewa Siwa dalam diri beliau.[25]
iii.
Manfaat Sembahyang Bagi Kehidupan
1. Menentramkan Jiwa
2. Mengatasi perbudakan materi
3. Menumbuhkan Cinta Kaih
4. Melestarikan alam
5. Memelihara kesehata[26]
D.Tempat Suci dan Hari-hari Keagamaan
a. Tempat Suci
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak dapat melepaskan diri dengan
berbagai simbol-simbol. Sejak manusia lahir yang ditandai dengan bayi sudah
mengandung arti atau simbol tertentu. Umumnya seseorang menangis dalam keadaan
sedih atau sakit keras. Tangis adalah simbol kesedihan, tapi bagi bayi berarti
juga lapar, haus, dan lain-lain.
Dalam evolusinya manusia terus menerus menggunakan simbol senyum manis
melambangkan keramah-tamahan dan lain-lain. Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, bendera merupakan simbol dari bangsa tersebut. Dalam kehidupan
beragama, tempat ibadah, bentuk-bentuk ritual dan lain-lain merupakan
simbol-simbol dari agama tertentu. Maka simbol-simbol keagamaan mempunyai arti
yang sangat penting bagi umat beragama.
Tempat suci diperlukan untuk memuja keagungan-Nya, mendekatkan umat
manusia kepada-Nya. Simbol-simbol yang berhubungan dengan tempat suci atau yang
disucikan meliputi: kawasan suci.[27]
1. Pengertian Tempat Suci bagi Umat Hindu
Setiap agama di dunia ini pasti mempunyai tempat suci untuk beribadah.
Banyak tempat beribadah di bangun untuk di buat memuja Tuhan. Pura merupakan
tempat suci bagi Umat Hindu. Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata
Sanskerta itu. Sebelum dipergunakan kata Pura untuk manamai tempat suci atau
tempat pemujaan dipergunakanlah kata “Kahyangan atau Hyang”. berarti kota atau
benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.
Tempat-tempat yang dianggap suci disebutkan pada bagian awal dari tulisan
ini (Tantra Samuccaya I.1.28), yakni di Tìrtha atau Patìrthan, di tepi sungai,
tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua sungai atau lebih, di muara sungai,
dipuncak-puncak gunung atau bukit-bukit, di lereng-lereng pegunungan, dekat
pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di tempat-tempat
lain yang dapat memberikan suasana bahagia. Untuk itu banyak pura-pura yang di
bangun di tempat-tempat yang disebutkan itu sejatinya untuk memperoleh
ketenangan pada saat memuja Sang Hyang Widhi Wasa. Istilah Pura pertama kali
berasal dari masyarakat Hindu di Bali namun sekarang nama Pura sudah di pakai
untuk menamai tempat suci Umat Hindu secara nasional. Konsepsi Pura sebagai
tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk
pemujaan roh leluhur yang disebut Bhatara. Hal ini memberikan salah satu
pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa dan
bhatara.[28]
2. Jenis – jenis Tempat Suci Umat Hindu
1. Pura
Istilah pura berasal dari kata Pur yang artinya
Kola, bening. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia
kesucian. Sebelum Pura diperkenalkan sebagai tempat suci atau tempat pemujaan,
dipergunakan Hyang atau Kahyangan untuk tempat pemujaan umat Hindu.[29]
2. Candi
Candi berasal dari kata Candika Grha artinya
Rumah Durga. Dan pengertian ini akhirnya candi dijadikan tempat pemujaan untuk Dewi
Durga. Di India candi merupakan sarana pemujaan, dan merupakan simbol gunung
Mahameru sebagai tempat para Dewa. Maka itu, candi merupakan tempat pemujaan
kepada dewa. Nama lain candi adalah Prasada, Sudarma, Mandira. Menurut Dr.
Sukmono mengatakan bahwa fungsi candi seperti:
a.
Candi berfungsi sebagai tempat pemujaan, seperti Candi Dieng, Candi
Prambanan, Candi Penataran.
b.
Candi berfungsi sebagai pemujaan roh suci, seperti Candi Kidak, Candi
Jago, Candi Singosari, Candi Simpino, Candi Jaui.
c.
Candi berfungsi sebagai tempat semedi, seperti Candi Borobudur, Candi
Pauon, Candi Mendut, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari.
4.
Kuil atau Mandir
Kuil (Mandir) adalah tempat suci umat Hindu dari keturunan India Tamil.
Fungsi Kuil adalah tempat suci untuk memuja manifestasi Tuhan (Dewa) yang
dikagumi.
4. Balai Antang
Balai Antang adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Balai Antang
ini dibuat dari kayu yang dirangkai sehingga bentuknya mirip dengan pelangkiran
di Bali. Fungsi Balai Antang adalah sebagai tempat menstanakan roh leluhur yang
sudah di sucikan yang bersifat sementara.[30]
5. Balai Kaharingan
Balai Kaharingan adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Bentuk
hampir mirip bangunan rumah, dan di ruangan diletakkan sebuah tiang yang besar
sebagai penyangga. Atapnya bersusun tiga, semakin keatas semakin kecil. Fungsi
Balai Kaharingan adalah untuk menstanakan Hyang Widhi dengan berbagai
manifestasinya. Balai Kaharingan dibangun ditengah-tengah wilayah masyarakat
atau pada tempat yang mudah dijangkau oleh umat Hindu Kaharingan untuk
melaksanakan persembahyangan.
6. Sandung
Sandung adalah tempat suci umat Hindu Kaharingan. Sandung terbuat dari
kayu dirangkai berbentuk pelinggih rong satu, bentuk atapnya segi tiga sama
kaki dan memakai satu tiang sebagai penyangga. Sandung diletakkan diluar rumah
atau dipekarangan. Fungsi Sandung adalah sebagai Stana roh leluhur yang telah
disucikan.
7. Inan
Kapemalaran Pak Buaran
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja, dengan ciri-cirinya terdapat
Lingga/batu besar, Pohon Cendana dan Pohon Andong. Pak Buaran merupakan tempat
sembahyang yang digunakan dalam lingkungan satu Desa (di Bali sama dengan Pura
Desa).
8.
Inan Kapemalaran Pedatuan
Adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja. dengan ciri-cirinya, terdapat
lingga / batu besar. pohon cendana dan pohon andong. Pedatun ini merupakan
tempat sembahyangyang digunakan dalam beberapa lingkungan keluarga (di Bali =
Banjar). Pedatuan ini biasanya terleiak dilereng Gunung.
9.
Inan Kapemalaran Pak Pesungan
Adalah tempat sembahyang bagi umat Hindu di Tanah Toraja, yang digunakan
dalam lingkungan rumah tangga (di Bali = merajan).
10.
Sanggar
Adalah salah satu bentuk tempat persembahyangan umat Hindu di Jawa.
Sanggar ini merupakan tempat suci yang ukuran ruangnya kecil yang berisikan
satu buah Padmasana untuk tempat persembahyangan yang bersifat umum.[31]
11.
Pajuh-Pajuhan
Pajuh-pajuhan adalah tempat persembahyangan umat Hindu Batak Karo.
Pajuh-pajuhan terbuat dari kayu yang dirangkai berbentuk segi empat.
Pajuh-pajuhan biasanya dibangun dekat mata air dan sifatnya umum yaitu tempat
sembahyang secara umum. Fungsinya adalah stana roh leluhur yang telah
disucikan.
12. Cubal – cubalan
Adalah tempat sembahyang umat Hindu Batak Karo Cubal-Cubalan bentuknya
sejenis pelangkiran yang diletakkan didalam rumah yang Tujuannya untuk
melakukan persembahyangan dan yadnya yang ditujukan pada roh leluhur dan Hyang
Widhi.
3. Bentuk – bentuk Tempat Suci Umat Hindu
1. Prasada
Bentuknya serupa tugu, terdiri dari tiga bagian
yaitu Dasar. Badan dan Atap. Atap atau kepalanya memakai gelung mahkota segi
empat bertingkat semakin keatas semakin kecil. Denah bangunan bujur sangkar,
tinggi bangunannya dapat berkisar setinggi Tugu sampai sekitar 10 meter. Bahan
bangunannya dipakai batu alam, batu padas, batu karang dan batu-batu merah.
Fungsi Prasada adalah sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi. Bangunan prasada
dapat kita saksikan di Pura Prasada desa Kapal kabupaten Badung, Candi
Margarana, Pura Maos Pahit Desa Tatasan Badung.
2. Meru
Pada umumnya atapnya adalah dari ijuk, bagian
dasar pada umumnya terbuat dari batu alam dan badan Meru terbuat dari bahan
kayu, kecuali beberapa Meru di Pura Besakih di Kabupaten Karangasem bahwa badan
meru terbuat dari batu cadas dan ukurannya lebih besar dari pada badan Meru
yang terbuat dari kayu. Fungsi Meru adalah tempat memuja Hyang Widhi dengan
segala manifestasinya.[32]
3. Gedong
Gedong juga merupakan salah satu bangunan Tempat
suci Hindu di Bah. Bentuk Gedong pada umumnya bujur sangkar atau segi
empat. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian yaitu : dasar, badan, dan
puncak atau atap. Bagian dasar pada umumnya terbuat dari batu bata atau padas
diisi ukiran yang didukung oleh seekor empas (kura-kura) dengan dibelit oleh
seekor naga. Bagian badan ada yang terbuat dari batu bata atau batu padas
tetapi ada juga yang terbuat dari kayu. Bagian badan dilengkapi dengan relief atau
ukiran para dewa. Bagian atas selalu terbuat dari konstruksi kayu, atapnya
terbuat dari alang-alang dan bisa juga ijuk dan genteng.
4. Rong tiga
Bentuk bangunan Rong Tiga pada umumnya sama
dengan bangunan gedong yakni empat persegi panjang. Bangunan ini terdiri dari
tiga bagian yaitu bagian dasar dibuat dari batu padas, disusun sesuai dengan
bentuk bangunan. Bagian badan, letaknya agak ke atas, terbuat dari kayu
dengan tiga ruangan menghadap kedepan. Bagian atas terbuat dari konstruksi kayu
dengan atap alang-alang ijuk dan bisa juga genteng. Rong Tiga merupakan salah
satu bagian bangunan merajan (tempat pemujaan keluarga). Fungsi rong tiga
adalah tempat untuk memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Murti
dan Roh Leluhur yang sudah disucikan.
5. Tugu
Bentuk bangunan tugu hampir sama dengan bangunan
prasada cuma ukurannya lebih kecil dan fungsinya juga berbeda. Fungsi Tugu
adalah untuk tempat bersemayamnya para Bhuta agar tidak mengganggu aktifitas
manusia pada saat malaksanakan upacara suci. Bangunan tugu di letakkan di
halaman luar Pura. Tidak seperti bangunan Padmasana, Gedong dan Meru yang
terletak pada bagian halaman utama Pura.[33]
6. Padmasana
Istilah Padmasana banyak kita jumpai dalam
mantram-mantram untuk menstanakan Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Di Jawa
bentuk Padmasana digambarkan dengan bentuk bunga teratai sebagai simbol
stana Hyang Widhi, sedangkan di Bali Padmasana diperkenalkan oleh Dang Hyang
Nirarta pada abad ke 16 masehi. Jenis-jenis Padmasana dikalangan umat Hindu
banyak yang tidak dapat membedakan yang mana disebut Padmasana, Padmasari,
Padma Capah maupun Padma Kurung. Menurut lontar Catur Winasari disebutkan
bermacam-macam Padmasana berdasarkan atas arah. rong (ruang). pepalihan
(tingkatan).
a.
Berdasarkan arah (pengider-ideran)
1.
Padma Kencana di timur menghadap ke barat adalah stana Hyang Iswara.
2.
Padmasana di selatan menghadap ke utara adalah stana Dewa Brahma.
3.
Padmasana sari bertempat di barat menghadap ke timur stana DewaMaheswara.
4.
Padmasana Lingga di Utara menghadap ke selatan adalah stana Dewa Wisnu.
5.
Padma Saji di timur laut manghadap ke barat daya adalah stana Dewa
Sambhu.
6.
Padma Asia Sedana bertempat di tenggara menghadap ke barat laut adalah
stana Dewa Mahesora.
7.
Padmanoja di Barat Daya menghadap ke timur laut adalah stana Dewa
Mahadewa.
8.
Padmokaro di barat laut menghadap ke tenggara adalah stana Sangkara.
b.
Berdasarkan ruang dan tingkatannya dapat dibedakan, menjadi :
1.
Padmasana Anglayang, beruang tiga mempergunakan Badawang Nala dengan
Palih Tujuh.
2.
Padma Agung, beruang tiga dan mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih
Lima.
3.
Padmasana, beruang satu mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih Lima.
4.
Padmasari, bangunan padmasari menyerupai Padmasana.
Perbedaannya adalah sebagai berikut:
Bangunan padmasana menggunakan dasar Bedawang
Nala yang dililit oleh naga sedangkan Padmasari tidak menggunakan Bedawang Nala
dan naga. Padmasari beruang satu dengan Pali Tiga yaitu Pali Taman
(bawah), Palih Sancak (tengah) dan Palihsari (atas).
5.
Padma Capah, bangunan ini mirip Padmasari tetapi lebih rendah, tidak
memakai Palih (tingkatan) biasanya tidak lebih tinggi dari mata manusia
berdiri. Padma Capah adalah beruang satu dengan Palih Dua yaitu Pali Taman
(bawah) dan Plih Capah (atas) tidak mempergunakan Bedawang Nala. Padma Capah
adalah stana makhluk alus atau makhluk yang derajatnya lebih rendah dari
manusia.[35]
B. Hari Keagamaan
Pada hakekatnya semua agama memiliki hari suci
atau hari-hari besar keagamaan. Setiap umat manusia yang ada di dunia ini, yang
mempunyai kenyakinan akan adnya Sang Pencita, masing-masing mempunyai hari raya
tertentu yang dianggap suci (kramat) dan mulia, yang tidak dilewatkan begitu
saja tanpa disertai dengan suatu upacara dan upakara, meskipun hanya secara
sederhana saja.[36]
Demikian pula dengan agama Hindu banyak sekali
memiliki hari-hari suci keagamaan. Hari-hari istimewa bagi umat Hindu itu dipandang suci, karena pada hari-hari itu umat
hindu wajib melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha
kuasa) beserta segala manifestasi Nya.
Hari- hari suci merupakan hari-hari peyogaan
Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. Oleh karena itu pada hari-hari
tersebut merupakan hari-hari yang baik untuk melakukan Yadnya. Yadnya ini dilakukan
oleh umat manusia hal ini sebagai penghormatan dan pemujaan terhadap hyang
Widhi (Tuhan Maha Pecipta), atas segala karunia-Nya yang tidak terbatas yang
telah dilimpahkan-Nya dan atas sinar suci t-Nya kepada semua kehidupan di dunia
ini.
1.
Pengertian Hari Suci
Hari suci atau rerahinan adalah hari yg diperingati atau di
istimewakan berdasarkan kenyakinan bahwa hari itu mempunyai makna bagi
kehidupan seseorang/masyarakat karena pengaruhnya dan karna nilai-nilai
didalamnya. Bila peringatan hari suci itu dilakukan secara rutin maka acara itu
disebut rerahinan. Bila kita
pelajari acara rerahinan ini maka hari-hari suci itu ada pada siklus tertentu,
dan mempunyai hari puncak dimana hari puncak itu akan kembali kehari permulaan.
Hari suci yang dirayakan oleh seluruh umat disebut hari raya atau rerahinan gumi (jagat). Sedangkan hari
suci yang dirayakan oleh kelompok-kelompok tertentu disebut dengan nama odalan
atau piodalan. Piodalan atau pawedalan berasal dari kata Wedal yang artinya
lahir. Jadi pawedalan atau piodalan merupakan hari suci untuk memperingati
kelahiran sesuatu (bukan manusia) atau hari jadi suatu Pura (Karena piodalan
biasanya ditujukan untuk tempat suci).
2.
Jenis-jenis Hari Suci
1. Hari
raya /yadnya dilakukan setiap hari.Sebagai contoh para sulinggih melakukan
Surya Sewana, umat Hindu melakukan Tri Sandhya, Yoga Yadnya, Swadhyaya
Yadnya, dan Dyanayadnya. Yang harus dilakukan tiap hari adalah Yadnya Sesa.[37]
2. Hari raya berdasarkan pertemuan Tri Wara
dengan Panca Wara Artinya persembahan yang dilakukan pada pertemuan
antara hari Kajeng (Tri Wara), dan Kliwon (Panca Wara) sehingga didapatkan hari
suci Kajeng Kliwon. Kliwon datangnya setiap lima hari sekali, Sang Hyang
Siwa bersemedi,pemujaan terhadap sang Hyang Siwa. Kajeng Kliwon datang
setiap 15 hari sekali,pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa.
3. Hari
Raya Berdasarkan pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara. Artinya persembahan
dilakukan pada pertemuan Sapta Wara dengan Panca Wara, antara lain sebagai
berikut:
Anggara Kliwon disebut pula Anggara
Kasih, pada hari ini beryoga Sang Hyang Rudra.
Budha Wage disebut juga Budha
Cemeng, beryoga Sang Hyang Manik Galih menurunkan Sang Hyang Ongkara Amertha di
bumi ini. Yadnya dipersembahkan kepada sang Hyang Sri Nini, agar diciptakan
kemakmuran dunia
Budha Kliwon, hari ini namanya sering disesuaikan dengan
wukunya. Hari Budha Kliwon adalah
hari penyucian Sang Hyang Ayu atau sang Hyang Nirmala Jati Sehingga
persembahan ditunjukkan padanya
Saniscara Kliwon hari ini namanya
sering disesuaikan dengan nama wuku. Persembahan ini ditujukan kepada Sang
Hyang Parameswara
4.Hari
Raya Berdasarkan Pawukon
Hari raya berdasarkan pawukon adalah hari raya
yang perhitungannya berdasarkan wuku.
3.
Hari Raya Suci Nyepi (Tahun Baru Çaka)
Hari Raya Nyepi’ adalah hari raya umat Hindu yang
dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga
(IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat
samudera yang membawa intisari amerta air hidup.[38]
Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.Nyepi berasal dari
kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun
Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78
Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali
dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan
ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun
tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia / microcosmos)
dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat
beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah
Bali.Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan Tiga atau dua hari sebelum
Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau
disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan
yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau
danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh
(kotor) di dalam diri manusia dan alam. Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada “tilem
sasih kesanga”(bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta
Yadnya di segala tingkatan masyarakat,mulai dari masing-masing
keluarga,banjar,desa,kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari
jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya.
Pada saat Nyepi umat Hindu melaksanakan “Catur Brata”Penyepian
yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau
menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak
bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang
mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan semadhi.[39]
4.
Hari Raya Suci Galungan
Galungan adalah pemujaan kepada Hyanng Widhi yang
dilakukan dengan penuh kesucian dan ketulusan hati. Memohon kesejahteraan dan
keselamatan hidup serta agar dijauhkan dari awidya. Hari raya galungan adalah
hari pawedalan jagat. Yaitu pemujaan bahwa telah terciptnya jagat dengan segala
isinya oleh Hyang Widhi. Hari ini muncul setiap 210 hari sekali. Yaitu pada
hari rabu kliwon Wuku Dungulan. Galungan merupakan perlambang perjuangan antara
yang benar (dharma) melawan tidak benar (adharma) dan juga sebagi pernyataan
rasa terimakasih atas kemakmuran dalam alam yang diciptakan Hyang Widhi ini.
Disamping itu pula, perayaan galungan adalah untuk menyatakan terima kasih dan
rasa bahagia atas kemurahan Hyang Widhi yang dibayangkan telah sudi turun
dengan diiringi oleh para dewa dan para Pitara ke dunia. Sehari sebelum
galungan, yaitu pada hari selasa Wage wuku Dungulan. Disebut hari Hari
Penampahan. Mulai saat penampahan ini segala bentuk nafsu hendaknya dikendalikan
dalam rangka menyambut hari raya Galungan (Besoknya), karena pada hari
Penampahan ini manusia berusaha digoda oleh nafsu-nafsunya yang bersifat
negatif, misalnya nafsu murka, iri hati, sombong, congkak dan lain-lainnya,
yang dilambangkan dengan Sang kala Tiga. Apabila manusia pada saat itu kurang
waspada dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, maka ia akan dikuasai
adanya dorongan nafsu marah, sering terjadi pertengkaran-pertengkaran
.perselisihan dan lain sebagainya. [40]
5.
Hari Raya Suci Kuningan
Kuningan jatuh setiap Sabtu Kliwon Wuku Kuningan 210
hari sekali yakni sepuluh hari setelah Galungan. Hari Kuningan adalah hari
payogaan Hyang Widhi yang turun kedunia dengan diiringi oleh para Dewa dan
Pitara pitari melimpahkan Karunia-Nya kepada umat manusia. Karena itu pada hari
Kuningan kita hendaknya mengahturkan bakti memohon kesentosaan, keselamatan,
perlindungan dan tuntunan lahir bathin. Pada hari kuningan ini, sajen (banten)
yang dihaturkan harus dilengkapi dengan nasi yang berwarna kuning. Tujuannya
adalah sebagai tanda terima kasih atas kesejahteraan dan kemakmuran yang
dilimpahkan oleh Hyang Widhi Wasa. Pada hari ini kita membuat tamiang, endongan
dan kolem yang dipasang pada Padmasana. Sanggah (Merajan) dan Penjor. Tamiang
ini adalah simbol alat penangkis dari serangan hal-hal yang bersifat negatif,
endongan adalah simbul tempat makanan karena itu endongan berisi buah-buahan,
tebu, tumpeng serta lauk pauknya, dan kolem merupakan simbul tempat istirahat
atau tidur. Upacara persembahyangan hari kuningan harus sudah selesai sebelum
tengah hari.
6.
Hari Raya Suci Saraswati
Saraswati, adalah hari raya untuk memuja hyang Widhi
dalam menifestasinya dan kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu
kesucian. Hari Raya Saraswati merupakan piodalan Sang hyang Aji Saraswati atau
turunya Weda yang dirayakan setiap hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, yang
jatuhnya setiap 210 hari sekali. Kekuatan Hyang Widhi dalam Manifestasi-Nya
menurunkan Ilmu pengetahuan dilambangkan dengan seorang “Dewi”. Dewi Saraswati merupakan
Dewi ilmu pengetahuan Suci, karena itu bagi para arif bijaksana, pelajar dan
kaum cendikiawan, saraswati ini merupakan hari penting untuk memuja kebesaran
hyang Widhi atas segala Ilmu pengetahuan suci yang telah dianugrahkan itu. Dewi
Saraswati merupakan sakti Brahma (manifestasi Hyang Widhi dalam hal mencipta),
yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari
ilmu pengetahuan inilah timbul ciptaan-ciptaan baru yang ada didunia, tanpa
ilmu pengetahuan manusia tidak mungkin dapat menciptkan yang baru.[41]
7.
Hari Raya Suci Siwalatri
Siwarâtri berarti malam renungan suci atau malam peleburan dosa. Hari
Siwarâtri jatuh pada Purwanining Tilem ke VII (Kapitu), yaitu
sehari sebelum bulan mati sekitar bulan Januari. Pada hari ini kita melakukan
puasa dan yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan dari
Hyang Widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidya (kegelapan).
Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwarâtri
terdiri dari:
1.
Utama, melaksanakan:
a.
Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
b.
Upawasa (tidak makan dan tidak minum)
c.
Jagra (berjaga, tidak tidur).
2.
Madhya, melaksanakan:
a.
Upawasa.
b.
Jagra.
3.
Nista, hanya melaksanakan Jagra.
Hari Siwarâtri kadang kala disebut juga hari Pejagran. Karena pada
hari ini Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang bermanifestasikan sebagai Siwa
dalam fungsinya sebagai pelebur, melakukan yoga semalam suntuk. Karena itu pada
hari ini kita memohon kehadapan-Nya agar segala dosa-dosa kita dapat dilebur.
8.
Hari Raya Suci Pagerwesi
Hari raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (rabu)
Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya
dengan hari raya Galungan, Pagerwesi juga termasuk rerainan gumi, artinya hari
raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka.
Kata “Pagerwesi” artinya pagar dari besi. Ini
melambangakan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari
berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau
dirusak. Hari raya pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari
untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan
yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.[42]
9.
Hari Suci Purnama dan Tilem
Purnama dan Tilem, juga merupakan hari suci bagi umat
Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan untuk memohon berkah, rahkmat dan
Karunia dari Hyang Widhi. Pada
hari Purnama adalah payogaan Sanghyang Candra dan pada hari raya Tilem adalah
Payogaan Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa) dalam manifestasinya berfungsi sebagai pelebur
segala mala (kekotoran) yang ada di dunia. Bila pada hari Purnama atau Tilem
umat manusia menghaturkan upakara yadnya dan persembahyangan kehadapan Hyang
Widhi, dari nilai satu aturan (bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat
imbalan anugrah bernilai sepuluh dari hyang Widhi. Demikianlah hari Purnama dan
Tilem itu yang merupakan hari Suci yang harus dirayakan oleh umat Hindu untuk
memohon anugrah dan rakhmat serta keselamatan dan kesucian lahir bathin. Pada
hari Purnama dan Tilem hendaknya mengadakan upacara-upacara persembahyanngan
dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah satu aspek dari pada
pengalaman ajaran agama. Hari Purnama jatuh setiap bulan penuh (sukla paksa),
sedangkan Tilem jatuh setiap bulan mati (krsna paksa). Baik purnama maupun
Tilem datengnya setiap 30 atau 29 hari sekali. Pada hari Purnama dan Tilem ini
kitahendaknya mengadakan pembersihan secara lahir batin, karena itu, disampping
bersembahyang mengadakan puja bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon
anugrah-Nya, juga kita hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang
bersih). Menurut pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang
amat penting didalam kehidupan manusia. Disamping itu pula air merupakan sarana
pembersih, juga sebagai pelebur kotoran.[43]
Daftar Pustaka
·
Maswinara, I Wayan, Dewa-Dewi Hindu,
(Surabaya:Paramita,2007)
·
Salabi, Ahmad, Agama-agama besar diIndia, (Jakarta:Bumi
Aksara,1998)
·
Suparta, Ardana, Sejarah perkembangan agama
Hindu,(Surabaya,Paramita,2002)
·
Sudarsana,I.B Putu Ajaran Agama
Hindu.(Denpasar:Yayasan Dharma Arya,2004)
·
Titib, I Made, Teologi dan simbol-simbol dalam
agama Hindu, (Surabaya:Paramita,2003)
·
Wiana, . I Ketut
Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
[1]
http://mangpur.blogspot.co.id/2012/02/konsep-ketuhanan-dalam-agama-hindu.
[2]
http://mangpur.blogspot.co.id/2012/02/konsep-ketuhanan-dalam-agama-hindu.
[3]
Prof. Dr.Ahmad Shalaby.Perbandingan
Agama, Agama-agama besar di India. ( Jakarta:
Bumi Aksara.1998)
[4]
Prof. Dr.Ahmad Shalaby.Perbandingan
Agama, Agama-agama besar di India. ( Jakarta:
Bumi Aksara.1998) Hal.25
[5]
Prof. Dr.Ahmad Shalaby.Perbandingan
Agama, Agama-agama besar di India. ( Jakarta:
Bumi Aksara.1998)
[6]Prof.
Dr.Ahmad Shalaby.Perbandingan Agama, Agama-agama
besar di India. ( Jakarta: Bumi
Aksara.1998) 27
[7]
I
Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu, (Surabaya:Paramita,2007)
[8]
I
Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu, (Surabaya:Paramita,2007)
[9]
I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu,
(Surabaya:Paramita,2007)
[10]
I Wayan Maswinara, Dewa-Dewi Hindu,
(Surabaya:Paramita,2007)
[13]Drs.
I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006) Hal.
37
[14]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
Hal. 53
[19]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
Hal. 53
[20]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
Hal. 53
[22]
Drs.I.B Putu Sudarsana, MBA, MM.Ajaran Agama Hindu.(Denpasar:Yayasan Dharma
Arya,2004) Hal.46
[23]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
[24]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
Hal. 105-106
[25]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
Hal. 113-114
[26]
Drs. I Ketut Wiana, M.Ag. Sembahyang Menurut Hindu. (Surabaya :Paramita,2006)
Hal. 125-130
Komentar
Posting Komentar