Sejarah Vihara dan Pura di Indonesia
Pura Parahyangan Jagat Guru Bumi Serpong Damai
Pura ini diprakarsai oleh umat Hindu di seputaran BSD City, Gading Serpong, Melati Mas, Cisauk, Pamulang, Bintaro, Sarua, Rempoa, Serpong, dan seitarnya. Dengan mendapat dukungan penuh dari para tokoh Hindu Tangerang dan Parisada Propinsi Banten, serta perjuangan selama 3 tahun akhirnya lahan ini bisa dikelola oleh umat Hindu berupa lahan fasilitas umum seluas sekitar 2.200 m dan IMB dari Pemda Tangerang. Awalnya, lokasi yang ditawarkan sebagai tempat pembangunan pura oleh Pemda Tangerang bukanlah di lokasi yang ada sekarang. Lokasi yang ditawarkan sebelumnya ditolak oleh umat karena dari sisi spiritual kurang tepat untuk dijadikan tempat persembahyangan karena lokasinya yang sangat dekat dan merupakan akses ke pemakaman. Dan melalui diplomasi yang alot, maka pura BSD bisa berdiri di lahan yang ada saat ini.
Pura Hindu Dharma Parahyangan Jagat Guru merupakan Pura yang berlokasi di Nusa Loka BSD yang masih dalam pembangunan sejak tahun 2009, Pura Jagat Guru yang masih dalam proses pembangunan sekalipun sudah menjadi tempat perkumpulan umat Hindu yang berada didaerah BSD, Tangerang dan sekitarnya. Dari bentuk bangunan, ornamen didalam pura, sampai letak bangunan-bangunan dalam pura juga menyerupai kebanyakan pura yang terdapat di Bali.
Dengan mengucapkan “Om Swastiatu” yang diartikan sebagai salam bagi umat Hindu ketika saling berpapasan didalam maupun luar pura. Salam yang diucapkan dengan kedua telapak tangan mengatup didepan dada seperti pada umumnya berdoa, diartikan sebagai semoga ada dalam keadaan baik atas karunia hyang widhi.
Masyarakat yang berada diluar Bali tentu saja mendapatkan kesulitan seperti cara beribadah dengan minimnya dan menjadi minoritas di daerah yang berbeda ini. Memang terdapat pura sebegai wadah umat Hindu dapat beribadah, akan tetapi waktu yang dihadapi di Bali dan di kota Tangerang tentunya berbeda. Di perkotaan tentu saja para umat agama akan mempunyai perkerjaan lain yang berbeda dari daerah asalnya, maka itu waktu untuk beribadah tentu saja harus lebih fleksibel dibandingkan harus mengikuti dari Bali sendiri, yaitu pada perayaan besar harus beribadah sebelum jam 12 pagi atau siang. Maka dengan adanya perubahan kebudayaan, maka masyarakat yang berada di luar Bali harus mengikuti sendiri jadwal beribadah mereka dengan umat lainnya juga.
Menjalani ajaran agama Hindu sendiri juga tidak ada kendala yang besar terkait kendala sosial kemasyarakat, akan tetapi yang paling penting adalah dimana adanya tempat untuk semua umat Hindu dapat beribadah dengan tempat yang sesuai dengan ketentuan dan apa yang seharusnya menjadi tempat suci bagi umat Hindu.
Sekolah minggu di Pura merupakan kegiatan mengajar yang dilakukan guru di pura untuk mengajarkan umat Hindu yang masih bersekolah. Para anak kecil yang bersekolah tentu saja sudah medapatkan pelajaran agama dari sekolah masing-masing, tetapi kurangnya guru agama Hindu yang memadai di sekolah mereka, menyebabkan adanya pengajaran agama Hindu didalam Pura Jagat Guru.
Didalam pembelajaran pendidikan Hindu, guru agama tidak ditugaskan sebagai penyebar agama Hindu, tetapi hanya bagaimana memberikan pemahaman kepada siswa yang diajarnya agar paham mengenai bentuk ajaran agama Hindu sehingga dapat melaksanakan dan mengamalkan apa yang sudah diajari dengan baik dalam praktek kehidupannya juga.
Tugas penyebaran itu berarti adanya proses orang beralih ke agama Hindu jika kita menyebarkan agama Hindu kepada para pelajar. Namun pada dasarnya guru agama Hindu yang mengajar di dalam Pura Jagat Guru hanya memberikan pemahaman ajaran agama Hindu yang baik sehingga dapat mendapatkan pengalaman yang baik juga.
Bukan hanya mengajarkan tentang agama Hindu kepada anak sekolah yang biasanya disebut calon penerus, tetapi juga diajarkan apa saja kesenian-kesenian yang terkandung didalamnya, seperti ada tarian berasal dari Bali yang biasanya ditarikan oleh anak yang masih belum akil balig. Dimana diartikan bahwa mereka merupakan mahkluk suci yang masih belum ternodai sebagai pemuja kepada dewa yang umat Hindu puja.
Seni dan ritual menjadi salah satu daya tarik didalam Pura Jagat Guru ini. Pada sadarnya memang orang tua yang lebih sering memasukkan anak-anakknya untuk ikut dalam kegiatan Pura, agar lebih dekat dengan Budaya dan agama-nya pula, dan juga kesenian dan kebudayaan agama Hindu harus tetap dilestarikan agar tidak punah dengan perkembangan zaman, yang terkadang membuat anak muda zaman sekarang melupakan jati diri mereka.
Vihara Avalokitesvara Berumur Ribuan Tahun di Banten
Pura ini diprakarsai oleh umat Hindu di seputaran BSD City, Gading Serpong, Melati Mas, Cisauk, Pamulang, Bintaro, Sarua, Rempoa, Serpong, dan seitarnya. Dengan mendapat dukungan penuh dari para tokoh Hindu Tangerang dan Parisada Propinsi Banten, serta perjuangan selama 3 tahun akhirnya lahan ini bisa dikelola oleh umat Hindu berupa lahan fasilitas umum seluas sekitar 2.200 m dan IMB dari Pemda Tangerang. Awalnya, lokasi yang ditawarkan sebagai tempat pembangunan pura oleh Pemda Tangerang bukanlah di lokasi yang ada sekarang. Lokasi yang ditawarkan sebelumnya ditolak oleh umat karena dari sisi spiritual kurang tepat untuk dijadikan tempat persembahyangan karena lokasinya yang sangat dekat dan merupakan akses ke pemakaman. Dan melalui diplomasi yang alot, maka pura BSD bisa berdiri di lahan yang ada saat ini.
Pura Hindu Dharma Parahyangan Jagat Guru merupakan Pura yang berlokasi di Nusa Loka BSD yang masih dalam pembangunan sejak tahun 2009, Pura Jagat Guru yang masih dalam proses pembangunan sekalipun sudah menjadi tempat perkumpulan umat Hindu yang berada didaerah BSD, Tangerang dan sekitarnya. Dari bentuk bangunan, ornamen didalam pura, sampai letak bangunan-bangunan dalam pura juga menyerupai kebanyakan pura yang terdapat di Bali.
Dengan mengucapkan “Om Swastiatu” yang diartikan sebagai salam bagi umat Hindu ketika saling berpapasan didalam maupun luar pura. Salam yang diucapkan dengan kedua telapak tangan mengatup didepan dada seperti pada umumnya berdoa, diartikan sebagai semoga ada dalam keadaan baik atas karunia hyang widhi.
Masyarakat yang berada diluar Bali tentu saja mendapatkan kesulitan seperti cara beribadah dengan minimnya dan menjadi minoritas di daerah yang berbeda ini. Memang terdapat pura sebegai wadah umat Hindu dapat beribadah, akan tetapi waktu yang dihadapi di Bali dan di kota Tangerang tentunya berbeda. Di perkotaan tentu saja para umat agama akan mempunyai perkerjaan lain yang berbeda dari daerah asalnya, maka itu waktu untuk beribadah tentu saja harus lebih fleksibel dibandingkan harus mengikuti dari Bali sendiri, yaitu pada perayaan besar harus beribadah sebelum jam 12 pagi atau siang. Maka dengan adanya perubahan kebudayaan, maka masyarakat yang berada di luar Bali harus mengikuti sendiri jadwal beribadah mereka dengan umat lainnya juga.
Menjalani ajaran agama Hindu sendiri juga tidak ada kendala yang besar terkait kendala sosial kemasyarakat, akan tetapi yang paling penting adalah dimana adanya tempat untuk semua umat Hindu dapat beribadah dengan tempat yang sesuai dengan ketentuan dan apa yang seharusnya menjadi tempat suci bagi umat Hindu.
Sekolah minggu di Pura merupakan kegiatan mengajar yang dilakukan guru di pura untuk mengajarkan umat Hindu yang masih bersekolah. Para anak kecil yang bersekolah tentu saja sudah medapatkan pelajaran agama dari sekolah masing-masing, tetapi kurangnya guru agama Hindu yang memadai di sekolah mereka, menyebabkan adanya pengajaran agama Hindu didalam Pura Jagat Guru.
Didalam pembelajaran pendidikan Hindu, guru agama tidak ditugaskan sebagai penyebar agama Hindu, tetapi hanya bagaimana memberikan pemahaman kepada siswa yang diajarnya agar paham mengenai bentuk ajaran agama Hindu sehingga dapat melaksanakan dan mengamalkan apa yang sudah diajari dengan baik dalam praktek kehidupannya juga.
Tugas penyebaran itu berarti adanya proses orang beralih ke agama Hindu jika kita menyebarkan agama Hindu kepada para pelajar. Namun pada dasarnya guru agama Hindu yang mengajar di dalam Pura Jagat Guru hanya memberikan pemahaman ajaran agama Hindu yang baik sehingga dapat mendapatkan pengalaman yang baik juga.
Bukan hanya mengajarkan tentang agama Hindu kepada anak sekolah yang biasanya disebut calon penerus, tetapi juga diajarkan apa saja kesenian-kesenian yang terkandung didalamnya, seperti ada tarian berasal dari Bali yang biasanya ditarikan oleh anak yang masih belum akil balig. Dimana diartikan bahwa mereka merupakan mahkluk suci yang masih belum ternodai sebagai pemuja kepada dewa yang umat Hindu puja.
Seni dan ritual menjadi salah satu daya tarik didalam Pura Jagat Guru ini. Pada sadarnya memang orang tua yang lebih sering memasukkan anak-anakknya untuk ikut dalam kegiatan Pura, agar lebih dekat dengan Budaya dan agama-nya pula, dan juga kesenian dan kebudayaan agama Hindu harus tetap dilestarikan agar tidak punah dengan perkembangan zaman, yang terkadang membuat anak muda zaman sekarang melupakan jati diri mereka.
Vihara ini konon merupakan Vihara paling tua di
Banten. Keberadaannya sudah ada sejak abad ke 16, Vihara
Avalokitesvara yang terletak 15 km arah utara dari Kota Serang, Banten.
Sejarah singkat
Pembangunan Vihara ini tidak lepas dari peran Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia. Vihara ini terletak di kecamatan Kasemen, wilayah Banten lama ini berkaitan dengan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Tokoh penyebar islam di tanah Jawa ini memiliki istri yang masih keturunan kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien. Melihat banyak pengikut putri yang masih memegang teguh keyakinannya, Sunan Gunung Jati membangun vihara pada tahun 1542 di wilayah Banten, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid Agung Banten. Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga sekarang.
Namun adapula versi lain yang beredar kalau sebenarnya Vihara Avalokitesvara dibangun pada tahun 1652. Yaitu pada masa emas kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Vihara Avalokitesvara ini mempunyai sebutan lain yaitu Klenteng Tri Dharma sebab di Vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha.
Sejarah singkat
Pembangunan Vihara ini tidak lepas dari peran Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Indonesia. Vihara ini terletak di kecamatan Kasemen, wilayah Banten lama ini berkaitan dengan Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Tokoh penyebar islam di tanah Jawa ini memiliki istri yang masih keturunan kaisar Tiongkok bernama Putri Ong Tien. Melihat banyak pengikut putri yang masih memegang teguh keyakinannya, Sunan Gunung Jati membangun vihara pada tahun 1542 di wilayah Banten, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid Agung Banten. Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga sekarang.
Namun adapula versi lain yang beredar kalau sebenarnya Vihara Avalokitesvara dibangun pada tahun 1652. Yaitu pada masa emas kerajaan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Vihara Avalokitesvara ini mempunyai sebutan lain yaitu Klenteng Tri Dharma sebab di Vihara ini melayani tiga kepercayaan umat sekaligus. Yaitu Kong Hu Cu, Taoisme, dan Buddha.
Bagunan ini memiliki gerbang dengan atap berhiaskan dua naga memperebutkan mustika Sang Penerang (Matahari) sebagai penyambut pengunjung di pintu masuk sebelum pengunjung masuk lebih ke dalam kelenteng Tri Darma ini. Sebelum ke altar utama terdapat lilin merah besar serta pagoda.
Bangunan vihara ini memiliki luas mencapai 10 hektar, dengan altar Dewi Kwan Im sebagai altar utama. Di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang berusia setua bangunan ini, walaupun sempat terbakar pada tahun 2009 dan sekarang digantikan oleh patung Dewi Kwan Im yang baru, namun yang lama tetap ada di altar tersebut ditutupi selendang. Di sisi samping kanan dan kiri terdapat patung dewa-dewa yang berjumlah 16 dan tiang batu berukir naga.
Vihara ini juga memiliki ukiran yang menceritakan kejayaan Banten Lama saat menjadi kota pelabuhan yang ramai. Selain itu, ukiran-ukiran ini menjadi saksi bisu kejadian tsunami karena erupsi Gunung Krakatau pada tahun 1883. Bahkan, vihara ini mencatat kejadian tersebut dan dibuatlah ukiran di salah satu dinding vihara. Selain itu juga dibuat pula manuskrip tiga bahasa, Indonesia, Cina, dan Belanda.
Masyarakat sekitar berlindung di vihara ini, dan mereka selamat dari bencana tersebut. Maka Vihara Avalokitesvara juga terkenal sebagai vihara keselamatan. Banyak orang yang datang berdoa meminta keselamatan di tempat ini. Walaupun pernah mengalami musibah, bentuk dan isi yang ada di dalam vihara masih dijaga keasliannya oleh pihak pengelola. Bahkan bangunan vihara ini masih terlihat kokoh layaknya bangunan baru dengan warna merahnya yang khas.
Di bagian belakang terdapat aula yang berisi patung Buddha Gautama, aula ini dikhususkan untuk pemujaan Buddha. Selain itu, vihara ini memiliki perpustakaan serta tempat penginapan.
Untuk masyarakat Banten sendiri, vihara ini bukan hanya tempat peribadatan dan bangunan bersejarah saja, namun sebagai simbol bagaimana masyarakat terdahulu menjaga keharmonisan dalam menghadapi perbedaan. Banten yang mayoritas muslim tetap menjaga keharmonisan ini hingga sekarang dengan baik. Tidak jarang penduduk yang tinggal di sekitar kawasan Vihara Avalokitesvara ikut terlibat dan membantu ketika ada acara dan perayaan di vihara ini, seperti perayaan ulang tahun Buddha, Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya.
Sumber :
https://featurewritingkelasa.wordpress.com/2016/06/20/kebudayaan-bali-di-tangerang/
http://sekadar-coret.blogspot.co.id/2010/10/diskusi-kecil-di-pura-parahyangan-jagat.html
https://featurewritingkelasa.wordpress.com/2016/06/20/kebudayaan-bali-di-tangerang/
http://sekadar-coret.blogspot.co.id/2010/10/diskusi-kecil-di-pura-parahyangan-jagat.html
http://www.buddha.id/2015/10/vihara-avalokitesvara-konon-berumur.html
https://www.kompasiana.com/maulshiro/vihara-avalokitesvara-banten-vihara-pembauran_5743fa1e159373bd0408439b
Komentar
Posting Komentar